Makam Kyai Djangrono II, Bupati surabaya yang dihukum Mati Pakubuwono I

Salah satu makam bupati surabaya ada di solo lebih tepatnya di pemakaman sentanan laweyan. makam itu milik kyai adipati djangrono II dan dua pengikutnya. tiga makam ini terlihat teurus, dengan adanya pagar putih dan makam yang di cat hitam. dari nisananya terlihat lama seperti nisan lama pada umumnya. dibagian dalam pagar ada prasati pemugaran yang dilakukan oleh yayasan sentono boto putih surabaya pada 10 nopember. apa hubungan surabaya dengan surakarta? kenapa bupati surabaya dimakamkan di surakarta?

Kyai adipati djangrono II dihukum mati oleh pakubuwana I di kartasura tahun 1709. adipati djangrono II adalah anak dari djangrono I yang nama lainnya Anggawangsa yang mengabdi ke pangeran pekik, adipati djangrono II cucu Ki Joko Brondong alias Lanang Dangiran.

 Dalam sejarah telah disebutkan bahwa Djangrono II adalah seorang yang turut serta dalam membantu Pangeran Puger untuk mendapatkan tahtanya sebagai Sunan Pakubuwono I, yang kemudian Djangrono II diangkat sebagai Adipati Kliwon, yang berarti membawahi kadipaten yang besar meliputi wilayah pesisir Lamongan sampai Blambangan (Banyuwangi).  

Pada saat Belanda melakukan pengkhianatan dan tipu muslihat, Mataram menugaskan Djangrono bersama dengan Tjakraningrat yang berasal dari Madura untuk ikut serta dalam melawan pemberontakan Untung Suropati yang secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya terhadap Belanda dengan melakukan pemberontakan. Penugasan tersebut bertujuan sebagai siasat Mataram agar tidak menjadi tertuduh karena telah membantu Suropati. Sehingga Belanda akan tetap menganggap Mataram sebagai sekutunya dan memberikan bantuan-bantuan kepada Mataram.

 

Dalam pertarungan tersebut Untung Suropati terbunuh dan jasad nya dibakar oleh pasukan Belanda. Tidak lama kemudian Tjakraningrat juga meninggal dunia dikarenakan umurnya yang semakin tua. Hal tersebut dapat dipahami bahwa kematian Untung Suropati adalah sebagai umpan dalam perlawanan yang dilakukan secara tidak langsung oleh Kerajaan Mataram yang pada dasarnya sangat membenci kekuasaan Belanda di Mataram. Hal tersebut kemudian diketahui oleh Djangrono, sehingga ia berniat untuk melawan Belanda secara terang-terangan. Akan tetapi, sebelum niat tersebut dapat dilaksanakan, Belanda telah mengetahuinya terlebih dahulu. Sehingga Djangrono dianggap sebagai sebuah ancaman yang dapat membahayakan Belanda, dikarenakan kekuasaan Djangrono yang begitu besar di Surabaya dan sekitarnya.

Belanda meminta kepada Mataram agar Djangrono dapat dibunuh. Jika tidak dilakukan, Belanda mengancam tidak akan memberikan bantuanbantuan lagi kepada Mataram. Djangrono yang mendengar hal tersebut segera melakukan perundingan dengan para pengikutnya, dari hasil rundingan tersebut ditetapkan bahwa Djangrono akan memberikan jabatannya kepada sang adik yang bernama Djojopuspito. Sedangkan ia sendiri akan menyerahkan dirinya untuk dibunuh demi keamanan dan ketentraman Mataram. Djangrono terbunuh di usianya yang ke 34 tahun pada tanggal 26 Februari 1709 dan dimakamkan di desa Sentanan yang termasuk di wilayah Kartosuro bersama dengan dua orang pengikutnya yang setia mengikuti hingga akhir hayat.

 

Setelah terbunuhnya Djangrono, Surabaya terpecah menjadi dua yang masing-masing dipimpin oleh adik Djangrono. Wilayah Kadipaten Kasepuhan dipimpin oleh Djojopuspito, dan wilayah Kadipaten Kanoman dipimpin oleh Djangrono III (Ngabehi Djangrono). Pada tahun 1714, Djojopuspito menyusun pembalasan dendam atas kematian Djangrono II, bahkan daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan telah berada dibawah kekuasaannya. Kemudian Belanda dan Mataram bergabung untuk menyerang Surabaya, mereka membuat markas di desa Sepanjang.

agak sedikit bingung dengan tokoh ini jadi kisahnya tercampur antara Djangrono I dan Djangrono II

sumber:

Devy Zulfa Rosyida, 2021, PERAN PANGERAN LANANG DANGIRAN DALAM PROSES ISLAMISASI DI SURABAYA PADA TAHUN 1595-1638 M

Comments